Info Penting Hari Ini !!!

Selamat Datang di KARYA KAMAL. Apa yang Sedang Sahabat Cari ??? Moga Blog Ini Bisa Membantu Sahabat Semua...!!! Kabar Gembira, Novel Sampan di Seberang akan segera dipublikasikan di blog ini agar para sahabat setia bisa menikmati karya yg pernah menang dalam kompetisi novel ini. Novel "Sampan di Seberang" diangkat dari kisah nyata pengalaman mengabdi di daerah terpencil. Novel "Sampan di Seberang" Tentang Pengabdian, Persahabatan & Kenangan, Tunggu Kehadirannya...!!! Karya Kamal; Novel Jalan Impian, Novel Pardangolan, Novel Sampan di Seberang, Buku Bait Bait Hati & Buku Facebook Mengguncang Dunia Akhirat. __Mustopa Kamal Batubara__ __Facebook: Mustopa Kamal Batubara.__ __Instagram: @kamal_btr.____Twitter: @mustopakamalBTR____Email: mustopakamalbatubara@gmail.com__ __Salam Karya Kamal__

Selasa, 28 Maret 2017

Makalah
Sistem Peradilan Pidana





Jinayah siyasah
Fakultas syariah & hukum
UIN SUSKA RIAU
2015


BAB I
PENDAHULUAN


Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.Proses Hukum Yang Adil ( Layak ). Di dalam pelaksanaan peradilan pidana, ada satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, yaitu “due process of law” yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu Negara pada seorang tersangka atau terdakwa. Padahal arti dari due process of law ini lebih luas dari sekedar penerapan hukum atau perundang-undangan secara formil. Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap batin penghormatan terhadap hak-hak yang dipunyai warga masyarakat meskipun ia menjadi pelaku kejahatan. Namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi







BAB II
PEMBAHASAN


a.      Pelaksanaan proses pengadilan yang lebih sederhana, cepat dan murah
Asas peradilan yang paling mendasar dari pelaksanaan dan pelayanan administrasi peradilan yang mengarah pada prinsip dan asas efektif dan efisien adalah asas sederhana, cepat dan murah.
Sederhana dapat dimaknai sebagai proses yang tidak bertele-tele, tidak berbelit-belit, tidak berliku-liku, tidak rumit, jelas, lugas, tidak interpretable, mudah dipahami, mudah dilakukan, mudah dilaksanakan, mudah diterapkan, sistematis, konkrit baik dalam sudut pandang pencarian keadilan, maupun dalam sudut pandang penegakan hukum yang mempunyai tingkat kualifikasi yang sangat beragam.
Cepat harus dimaknai sebagai upaya strategis menjadi sistem peradilan sebagai institusi yang dapat menjamin terwujudnya/ tercapainya keadilan dalam penegakan hukum secara cepat oleh pencari keadilan.
Murah mengandung makna bahwa pencari keadilan melalui lembaga peradilan adalah tidak sekedar orang mempunyai harapan akan jaminan keadilan di dalamnya, tetapi harus ada jaminan bahwa keadilan tidak mahal, keadilan tidak dapat dimaterialisasikan, keadialan mempunyai sifat mandiri dan bebas dari nilai-nilai lain yang dapat mengkaburkan nilai keadilan itu sendiri, keadilan dapat diperjualbelikan, keadilan bukan merupakan komoditas, keadilan bukan merupakan kata dengan sejuta pesimisme utopis, keadilan tidak dapat dikualifikasikan dalam bentuk dan jenis apapun, keadilan adalah kebutuhan dasar bagi manusia yang hidup secara universal.

b.      Pembentukan pengadilan yang bersih, jujur, objektif dan adil yang ditunjang oleh suatu sistem pemantauan.
Sistem peradilan yang jujur, adil, objektif dengan sistem pengawasan yang holistic hanya menjadi slogan-slogan kepentingan dari ideology rezim ekonomi dan politik belaka. Peradilan yang jujur, adil dan objektif sekadar menjadi wacana yang hanya berkembang di lingkungan kampus-kampus, sekolah- sekolah, akademi-akademi, yang seringkali juga terlalu asik mansyuk dengan dunianya sendiri.

c.       Penyelesaikan penimbunan perkara dan kelambatan proses perkara di Mahkamah Agung
Permasalahan yang penting yang berkaitan dengan asas cepat dan prinsip administrasi peradilan adalah masalah penimbunan perkara dan kelambatan proses perkara di Mahkamah Agung.
Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut memang membutuhkan upaya dan strategis yang sistematis, sustainable, komprehensif dari semua items tersebut. Tetapi upaya administratif seperti pembatasan pengajuan banding/ kasasi dan mempercepat proses pengadilan, adalah pilihan yang memang bukan satu-satunya, tetapi dapat dipandang sebagai langkah terobosan hukum acara pidana yang ada. Pengaturan mengenai pembatasan perkara banding dan kasasi, harus tidak boleh menimbulkan kesan pembatasan terhadap hak untuk mendapatkan keadilan dalam penegakan hukum secara formil, tetapi juga tidak boleh menimbulkan pembatasan perwujudan perkara banding dan kasasi.
Secara komprehensif, ide pembatasan perkara banding dan kasasi juga mempunyai konsekuensi logis terhadap kebutuhan akan reformasi struktural dalam lembaga peradilan yang sekarang ada, reformasi hukum acara menjadu panduan dasarnya, politik hukum yang mendasari paradigma bangunan sistem peradilan yang akan dibentuk, kemampuan dan potensi sumber daya manusianya.

2.      Gambaran tentang sistem peradilan pidana atau criminal justice system
1. Dalam Black Law Dictionary, Criminal Justice System diartikan sebagai ”the network of court and tribunals which deal with criminal law and it’s enforcement”. Pengertian ini lebih menekankan pada suatu pemahaman baik mengenai jaringan di dalam lembaga peradilan maupun pada fungsi dari jaringan untuk menegakan hukum pidana. Jadi, tekanannya bukan semata-mata pada adanya penegakan hukum oleh peradilan pidana, melainkan lebih jauh lagi dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum tersebut dengan membangun suatu jaringan.
2. Remington dan Ohlin, Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik adminisrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.
3. Mardjono Reksodipoetro, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.
4. Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiel, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Akan tetapi, menurut Muladi kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu berlebihan jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan.

            Berbagai pandangan mengenai sistem peradilan pidana atau criminal justice system di atas memiliki dimensi yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Criminal Justice System atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu bentuk yang unik dan berbeda dengan sistem sosial lainnya. Perbedaan dapat dilihat dari keberadaannya untuk memproduksi segala sesuatu yang bersifat unwelfare (dapat berupa perampasan kemerdekaan, stigmatisasi, perampasan harta benda atau menghilangkan nyawa manusia) dalam skala yang besar guna mencapai tujuan yang sifatnya welfare (rehabilitasi pelaku, pengendalian dan penekanan tindak pidana).

              Sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana. Oleh karena itu berhubungan erat sekali dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum substantif maupun hukum acara pidana, karena perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan penegakan hukum pidana ”in abstracto” yang akan diwujudkan dalam penegakan hukum ”in concreto”. Pentingnya peranan perundang-undangan pidana dalam sistem peradilan pidana, karena perundang-undangan tersebut memberikan kekuasaan pada pengambil kebijakan dan memberikan dasar hukum atas kebijakan yang diterapkan. Lembaga legislatif berpartisipasi dalam menyiapkan kebijakan dan memberikan langkah hukum untuk memformulasikan kebijakan dan menerapkan program kebijakan yang telah ditetapkan. Jadi, semua merupakan bagian dari politik hukum yang pada hakekatnya berfungsi dalam tiga bentuk, yakni pembentukan hukum, penegakan hukum, dan pelaksanaan kewenangan dan kompetensi.

              Berkaitan dengan hal tersebut di atas, ada beberapa asas utama yang harus diperhatikan dalam mengoperasionalisasikan hukum pidana, sebab individu harus benar-benar merasa terjamin bahwa mekanisme sistem peradilan pidana tidak akan menyentuh mereka tanpa landasan hukum tertulis, yang sudah ada terlebih dahulu (legality principle). Di samping itu, atas dasar yang dibenarkan oleh undang-undang hukum acara pidana mengenai apa yang dinamakan asas kegunaan (expediency principle) yang berpangkal tolak pada kepentingan masyarakat yang dapat ditafsirkan sebagai kepentingan tertib hukum (interest of the legal order). Atas dasar ini penuntutan memperoleh legitimasinya. Asas yang ketiga adalah asas perioritas (priority principle) yang didasarkan pada semakin beratnya beban sistem peradilan pidana. Hal ini bisa berkaitan dengan berbagai kategori yang sama. Perioritas ini dapat juga berkaitan dengan pemilihan jenis-jenis pidana atau tindakan yang dapat diterapkan pada pelaku tindak pidana.

Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia

Sistem peradilan Indonesia berdasarkan sistem-sistem, undang-undang dan lembaga-lembaga yang diwarisi dari negara Belanda yang pernah menjajah bangsa Indonesia selama kurang lebih tiga ratus tahun.

Seperti dikatakan oleh Andi Hamzah

Misalnya Indonesia dan Malaysia dua bangsa serumpun, tetapi dipisahkan dalam sistem hukumnya oleh masing-masing penjajah, yaitu Belanda dan Inggris. Akibatnya, meskipun kita telah mempunyai KUHAP hasil ciptaan bangsa Indonesia sendiri, namun sistem dan asasnya tetap bertumpu pada sistem Eropa Kontinental (Belanda), sedangkan Malaysia, Brunei, Singapura bertumpu kepada sistem Anglo Saxon.

Walaupun bertumpu pada sistem Belanda, hukum pidana Indonesia modern dapat dipisahkan dalam dua kategori, yaitu hukum pidana acara dan hukum pidana materiil. Hukum pidana acara dapat disebut dalam Bahasa Inggris sebagai “procedural law” dan hukum pidana materiil sebagai “substantive law”. Kedua kategori tersebut dapat kita temui dalam Kitab masing-masing yaitu, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) berturut-turut.
Apalagi, hasil wawancara yang dilakukan dengan dosen-dosen di Fakultas Hukum Universitas Mataram (UNRAM) menyatakan bahwa keadaanya Rancangan Undang Undang (RUU) yang sedang dibahas dan dipertimbangkan oleh anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tingkat nasional, akan tetapi RUU tersebut belum dapat disahkan. Menurut M. Lubis:

“’The new draft laws’, atau RUU KUHP baru itu telah disesuaikan dengan pandangan hidup bangsa Indonesia termasuk nilai-nilai agama, nilai adat dan lagi pula disesuaikan dengan Pancasila.”

Namun RUU KUHP baru memunculkan beberapa hal yang sangat menarik terkait dengan perubahan-perubahan yang dapat terjadi pada sistem hukum pidana dan patut didiskusikan, kenyataannya adalah sampai sekarang RUU tersebut belum dilaksanakan. Menurut keterangan dari beberapa sumber, RUU tersebut telah diajukan kepada DPR Jakarta selama kurang lebih dua puluh tahun dan belum dapat disepakati apalagi disahkan. 
Maka dari itu, untuk sementara KUHAP dan KUHP merupakan undang-undang yang berlaku dan digunakan oleh lembaga lembaga penegak hukum untuk melaksanakan urusan sehari-hari dalam menerapkan hukum pidana di Indonesia.
KUHAP (dibedakan dari KUHP), menentukan prosedur-prosedur yang harus dianut oleh berbagai lembaga yang terlibat dalam sistem peradilan misalnya hakim, jaksa, polisi dan lain-lainnya, sedangkan KUHP menentukan pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan yang berlaku dan dapat diselidiki ataupun dituntut oleh lembaga-lembaga tersebut.

Sebagai contoh hendaklah kita membaca Pasal 340 dari KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa orang, sebagai berikut:

Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun

Dari Pasal tersebut dapat kita lihat bahwa isi KUHP adalah persyaratan dan ancaman (sanksi) substantif yang dapat diterapkan oleh penegak hukum. Sebaliknya KUHAP menentukan hal-hal yang terkait dengan prosedur; sebagai contoh Pasal 110 tentang peranan polisi dan jaksa:

“Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum”.

Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan Bapak Dedy Koesnomo dari Kejaksaan Tinggi, Propinsi Nusa Tenggara Barat dapat kita lihat bahwa dalam kenyataan, sebuah hasil penyidikan dalam bentuk berkas dari pihak kepolisian didahului dengan sebuah Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan atau SPDP. Itulah langkah pertama dari kepolisian untuk menjalankan sebuah perkara pidana. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) adalah berkas lengkap yang mengandung semua fakta dan bukti terkait dengan kasusnya. BAP tersebut akan menyusul SPDP biasanya dalam waktu kurang lebih tiga minggu. Setelah diterima oleh pihak kejaksaan, (untuk tindak pidana ringan biasanya pada tingkat kejaksaan negeri) barulah kejaksaan dapat meneliti berkasnya dan menyatakan jika BAPnya lengkap dan patut dilimpahkan kepada pengadilan, atau dikembalikan kepada kepolisian disertai petunjuk-petunjuk supaya dapat diperbaiki dan diserahkan lagi.

Jika sebuah BAP telah diteliti oleh jaksa dan dinyatakan cukup bukti untuk melimpahkan perkaranya kepada pengadilan maka pertanggungjawaban untuk kasus tersebut beralih dari pihak kejaksaan kepada pihak kehakiman dan pengadilan.

  Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Sistem Peradilan Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan :
a.Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
b.Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;
c.Mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.

Sistem peradilan Pidana Dalam Peraturan Perundangan di Indonesia
Ketentuan mengenai proses beracara untuk kasus-kasus pidana di Indonesia harus mengacu pada ketentuan umumnya yakni KUHAP, disamping juga terdapat ketentuan hukum pidana formil selain yang telah diatur dalam KUHAP tersebut, yang tersebar dalam Undang-Undang di luar KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

Sistem Peradilan diwakili dalam 4 yuridiksi
Di Indonesia terdapat 4 macam sistem peradilan yang di akui terdapat dalam pasal 10 ayat 2 UU No. 4/ 2004, yaitu :
1.      Lingkungan peradilan umum
2.      Lingkungan peradilan agama
3.      Lingkungan peradilan militer, dan
4.      Lingkungan peradilan tata usaha negara   

Dalam sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya.

              Berkaitan dengan hal tersebut, Sudarto mengatakan: Instansi-instansi tersebut masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya. Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut model kemudi (stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memberi marah pada orang yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan hukum.

Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang dimuka pengadilan. Ini semua adalah bagian-bagian dari kegiatan dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut “crime control” suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Selanjutnya tampak pula, bahwa sistim peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana substantif, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam bentuk yang bersifat prefentif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar sub sistim peradilan pidana yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Bahkan dapat ditambahkan di sini Lembaga Penasehat Hukum dan Masyarakat.

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.
Proses Hukum yang adil (layak).

Di dalam pelaksanaan peradilan pidana, ada satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, yaitu “due process of law” yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak
Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu Negara pada seorang tersangka atau terdakwa. Padahal arti dari due process of law ini lebih luas dari sekedar penerapan hukum atau perundang-undangan secara formil.
Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap batin penghormatan terhadap hak-hak yang dipunyai warga masyarakat meskipun ia menjadi pelaku kejahatan. Namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi.

BAB III
PENUTUP

Sistem Peradilan Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan :
a.Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
b.Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;
c.Mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.

            Di Indonesia telah banyak pembagian sistem peradilan pidana yang sekarang semuanya dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Tetapi dalam proses pelaksanaannya masih banyak kekurangan-kekurangan yang penyebabkan peradilan di Indonesia tidak dapat memenuhi kebutuhan pencari keadilan, masalah itu baik secara administratif maupun penyelewengan-penyelewengan yang terjadi di lingkungan peradilan. Adapun upaya yang telah dilakukan saat ini belum optimal untuk menyelesaikan masalah di lingkungan peradilan.
Terutama di Indonesia sendiri banyaknya pembagian yurudiksi di tengkat peradilan menyebabkan banyaknya cela yang harus di tutup kembali guna mewujudkan peradilan yang bersih dan adil. Dengan Tujuan tujuan tersebut diharapkan dapat meminimalisir terjadinya kejahatan khususnya tindak pidana yang dapat membahayakan masyarakat.








Makalah

MEWUJUDKAN YANG PERADILAN JUJUR





Jinayah Siyasah
Fakultas syariah & hukum
UIN SUSKA RIAU
2015



BAB I
PENDAHULUAN

Puji dan rasa syukur marilah senantiasa kita panjatkan atas rahmat, nikmat dan hidayah yang telah dicurahkan Allah sang Pencipta kepada kita, serta salawat dan salam tentunya juga tidak akan lupanya kita hadiahkan kepada kekasih Allah yaitu Nabi Muahammad SAW.
Hakim sejatinya adalah pejabat negara yang ditugaskan sebagai pengadil dan pelaksana hukum juga mempunyai kewajiban untuk memeriksa dan mengadili sutau perkara yang dilimpahkan ke pengadilan. Kinerja hakim di Indonesia sampai saat ini dirasakan belum memuaskan. Hal ini dikarenakan banyak persoalan-persoalan yang melanda para hakimnya. Di saat masyarakat merindukan hukum yang bisa digunakan untuk dijadikan tumpuan terakhir saat keadilan dan hak-hak masyarakat dirampas, di sinilah peran hakim untu berbuat adil. Namun tak jarang kita lihat hakim yang tidak menjalankan tugasnya dengan sepenuh hati. Kebanyakan hakim saat ini juga terlibat dalam kasus suap dan korupsi. 
Saat ini mencari keadilan seperti mencari sebatang jarum yang hilang dalam tumpukan jerami, rumit, berbelit-belit, penuh tikungan dan jebakan, yang berujung kekecewaan dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Menumpuknya belasan ribu perkara di Mahkamah Agung , tidak hanya menunjukkan banyaknya permasalahan hukum dan kejahatan di negeri ini, akan tetapi juga karena panjang dan berbelitnya proses peradilan. Inilah diantaranya penyebab hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Tindakan main hakim sendiri (eigenrechting) yang dilakukan oleh masyarakat khususnya terhadap kejahatan jalanan (street crimes) adalah bukti ketidakhormatan dan ketidakpercayaan mereka terhadap hukum (disrespecting and distrusting the law).
Realita sistem hukum dan peradilan di negeri ini, nampaknya tergambarkan dalam penelitian yang dilakukan oleh The Asia Foundation & AC Nielsen yang antara lain menyatakan: 49% sistem hukum tidak melindungi mereka (the legal system does not protect them), 38% tidak ada persamaan dimuka hukum (there is no such thing as equality before the law), 57% sistem hukum masih tetap korup (the legal system is just as corrupt as it has always been) problem.
Maka dari itu diperlukan untuk membangun sistem peradilan yang jujur dan berwibawa, supaya masyarakat dapat terlindungi serta merasa aman jika sistem tersebut dapat diwujudkan. Peradilan yang bersih dan berwibawa dapat dibangun dengan beberapa cara dan dengan strategi yang bermacam macam. namun kenyataannya belum memberikan kesan bahwa peradilan adalah tempat yang bersih dari korupsi. Dan kini mewujudkan sistem peradilan yang jujur dan berwibawa terkesan sulit dan rumit, karena semua itu tergantung pada para pelaku peradilan di negeri kita.



























BAB II
PEMBAHASAN


*   Strategi

Strategi yang dilakukan untuk membangun sistem peradilan yang jujur dan berwibawa dilakukan dengan berbagai cara. Peradilan yang bersih dan berwibawa dapat dibangun dengan menciptakan profesionalitas para hakim. Salah satu cara membuat para hakim profesional adalah dengan meningkatkan kesejahteraan mereka. Itulah salah satu hal yang pernah dilakukuan.


*     Faktor Pendukung

Faktor pendukung sangat diperlukan untuk memberhasilkan pembangunan sistem peradilan yang jujur dan berwibawa, itu semua dapat berpengaruh dalam keadilan dalam hukum dan demi kesejahteraan pengguna peradilan untuk mendapatkan kebenaran yang sesuai. Faktor pendukung juga dapat meningkatkan kualitas hukum di Negeri kita.

1.    Secara internal lembaga peradilan harus didukung oleh hal-hal sebagai berikut :
Pengadilan harus bersih dari segala bentuk KKN, untuk itu diupayakan hal-hal seperti :
a)      membangun pribadi hakim yang berintegritas,
b)      sistem kontrol yang baik,
c)      fasilitas yang cukup, dan
d)      intelektualitas hakim yang handal.

Secara ekternal harus didukung juga hal-hal sebagai berikut :
a)      budaya yang baik dari masyarakat, yakni masyarakat harus patuh dan hormat pada hukum, tidak berbuat dengan segala cara untuk memenangkan perkara, dan masyarakat harus terbebas dari budaya suap menyuap,
b)      keberadaan lembaga peradilan harus mendapat dukungan politik yang memadai seperti ketersediaan anggaran yang cukup, dan
c)       dukungan sosial yang cukup untuk turut serta memecahkan masalah bukan sekedar membicarakan masalah atau sekedar memajukan tuntutan.

2.    Lembaga peradilan, utamanya majelis hakim harus bebas dari segala bentuk campur tangan dari suatu kekuasaan atau kekuatan sosial atau kekutan politik yang menggiring suatu majelis hakim pada arah tertentu.

3.    Membangun sikap hormat dan patuh pada pengadilan dan putusan majelis hakim sebagai suatu bentuk keikutsertaan membangun pengadilan yang berwibawa.

4.    Sistem manajemen yang menjamin efisiensi, efektifitas, produktivitas, putusan-putusan yang bermutu atau memberi kepuasan kepada yang berperkara atau publik pada umumnya. Hal ini dapat dicapai dengan membangun sumber daya yang bermutu, sistem manajemen yang baik, dukungan dana yang cukup, dan berbagai prasarana dan sarana yang memadai.[7]  


*     Faktor penghambat

Dalam sebuah peradilan banyak faktor faktor yang menghambat kelancaran urusan dalam peradilan hukum, hal hal tersebut dapat merusak sistem peradilan dan juga merusak kualitas hukum di negeri kita.
Beberapa contoh penghambat dalam sistem peradilan yang cukup serius adalah bobroknya mental aparat penegak hukum, mulai dari polisi, panitera, jaksa hingga hakim. Bahkan data terakhir yang dilansir Komisi Yudisial menyebutkan bahwa 2.440 hakim atau sekitar 40% dari total 6.100 hakim dikategorikan bermasalah, yang pada akhirnya membuat praktek hukum diwarnai judicial corruption. Selain sistem pengawasan berbasis sistem, permasalahan mendasarnya justru karena tidak ada pengawasan yang melekat dan berdimensi ruhiyah (rohani). Konsekwensi dari sistem hukum dan peradilan sekular yang menafikan keberadaan Allah mengakibatkan mereka melakukan sesuatu tanpa memperhatikan benar-salah, baik-buruk apalagi halal-haram.
Faktor faktor penghambat dapat dikurangi dengan membenahi moral para hakim dan moral orang orang yang berpotensi melakukan tindakan suap kepada hakim maupun karupsi.

                      




BAB III
PENUTUP


Kesimpulannya, Sitem peradilan yang jujur dan bijaksana dapat dibentuk dengan cara menciptakan profesionalitas para hakim yaitu dengan meningkatkan kesejahteraan mereka, memperbaiki moral manusia, pengadilan harus bersih dari segala bentuk KKN  (membangun pribadi hakim yang berintegritas, sistem kontrol yang baik, fasilitas yang cukup, intelektualitas hakim yang handal),  memperbaiki mental aparat penegak hukum, mulai dari polisi, panitera, jaksa hingga hakim, dan memberikan pengawasan yang melekat dan berdimensi ruhiyah (rohani).
Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang baik dalam ukuran proses maupun hasilnya. Dan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa harus adanya peran masyarakat. Tanpa adanya peran masyarakat dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa mungkin akan sulit untuk terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Selain itu pula untuk terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa,  para pelaku hukum harus berani menindak tegas para pelaku KKN sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dalam rangka mewujudkan good governance (pemerintahan yang bersih atau jujur dan berwibawa), diharapkan adanya pemberian penghargaan (reward) kepada peran serta masyarakat, pemberian penghargaan aparat pemerintah. Dengan sistem pemberian penghargaan kepada peran serta massyarakat dan aparat pemerintah maka diharapkan akan terjadi peningkatan motivasi untuk mewujudkan good governance (pemerintahan yang bersih dan berwibawa).


Makalah Tentang 'ILLAT



PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Untuk memahami makna dan hakekat hukum atau aturan-aturan yang telah disyariatkan Allah SWT. Yang berfungsi sebagai alat untuk mengatur hidup dan kehidupan umat manusia bukanlah persoalan yang mudah. Hal ini dapat dipahami bahwa semua aturan yang telah ditetapakn Allah tersebut, pada akhirnya Dia sendiri yang mengetahui hakikatnya.
Secara lebih tegas dapat dinyatakan bahwa segala ketentuan hukum yang telah diterapkan oleh Allah baik perintah maupun larangan, dengan tujuan untuk menciptakan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Selain itu dijadikan sebagai landasan pemikiran untuk melihat dan menentukan kira-kira apa yang menjadi pendorong atau yang melatarbelakangi suatu ketentuan hukum syara’ tersebut.
Untuk memahami dan mengetahui apa yang menjadi pendorong atau alasan-alasan logis dari semua ketentuan hukum yang telah ditetapkan itu, maka para ulama Ushul Fiqh berupaya meneliti nash Al-Qur’an dan Sunnah dengan melihat hubungan antara suatu ketentuan hukum dengan alasan yang mendasar. Upaya ini, pada akhirnya melahirkan suatu teori yang kemudian dalam Ilmu Ushul Fiqh disebut dengan ‘Illat. Di dalam makalah ini akan dijelaskan tentang ‘Illat, Masalik ‘Illat dan Qawadihnya pada halaman selanjutnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian dari ‘Illat?
2.      Apakah Syarat-Syarat ‘Illat?
3.      Apa Saja Rincian dan Macam-Macam Illat?
4.      Apa Saja Status, Kedudukan dan Fungsi ‘Illat?
5.      Bagaimana cara mencari sebuah illat (Masalikul ‘Illat)
6.      Apa yang disebut dengan Qawadih ‘Illat?
7.      Bagaimana Cara Penggunaan Sebuah Illat?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa itu ‘Illat dan syarat-syaratnya.
2.      Mengetahui status, Kedudukan dan fungsi debuah ‘illat serta cara mencari sebuah Illat.
3.      mngetahui apa itu Qawadih ‘Illat dan cara penggunaan sebuah illat.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian ‘Illat
Secara etimologi ‘illat berasal dari kata علة-عل yang berarti sakit, yang menyusahkan, sebab, udzur.[1][1]
Secara terminologi menurut Atho bin Khalil ‘illat adalah sesuatu yang keberadaanya maka hukum menjadi ada. Atau perkara yang memunculkan hukum berupa pensyariatan suatu hukum. Illat adalah dalil, tanda, dan yang memberi tahu adanya hukum.
Menurut Abdul Wahhab Khallaf ‘illat adalah sifat dalam hukum ashal yang dijadikan dasar hukum.
Menurut Muhammad Abu Zahrah, ‘illat adalah sebagai suatu sifat lahir yang menetapkan dan sesuai dengan hukum.
Menurut Mu’in Umar, ‘illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapakan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara’ yang belum ditetapkan hukumnya.
Maka dapat disimpulkan ‘illat ialah sesuatu yang memberikan batasan terhadap hukum, sehingga disebut juga tanda yang dijadikan dasar hukum, jadi hukum itu disyariatkan karena adanya ‘illat.
Contoh Illat adalah sebagai berikut:
·         Seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan harapannya hukum menjual harta anak yatim.[2][2]
·         Sifat memabukkan pada khamr, sehingga semua yang memabukkan dihukumi sebagai khamr.[3][3]
·         Atau pembunuhan sengaja dengan pedang sebagai ‘illat qishas, sebab tindak pidana yang diancam dengan hukuman qishas ialah segala bentuk penganiayaan dengan alat atau senjata yang mematikan.[4][4]

B.     Syarat-Syarat ‘Illat
Ada empat macam syarat-syarat ‘illat yang disepakati para ulama yaitu:
1.      Sifat ‘illat itu hendaknya nyata masih terjangkau oleh akal dan panca indera. Hal ini diperlukan karena ‘illat itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada fara’.
2.      Sifat ‘illat itu harus pasti, tertentu, terbatas, dan dapat dibuktikan bahwa ‘illat itu ada pada fara’.
3.      ‘Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti bahwa keras dugaan ‘illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya.
4.      ‘Illat itu tidak hanya terdapat pada ashal saja tetapai harus berupa sifat yang dapat pula diterapkan pada masalah-masalah lain selain dari ashal itu.[5][5]
Perbedaan antara ‘illat dengan hikmah adalah, bahwa ‘illat merupakan pendorong atau pemicu disyariatkannya suatu hukum dengan kata lain, sesuatu penyebab disyariatkannya hukum. Sedangkan hikmah adalah perkara yang menjelaskan hasil dan tujuan hukum. Berdasarkan hal itu, ‘illat ada sebelum adanya hukum dan bukan merupakan hasil dari pelaksanaan hukum. Sedangkan hikmah adlah hasil yang mungkin diperoleh dari pelaksanaan hukum. Hikmah dengan makna seperti ini kadangkala terpisah dari hukum pada kondisi tertentu.
Perbedaan ‘illat dengan sebab yaitu sebab merupakan tanda yang memberitahu adanya suatu hukum seperti tergelincirnya matahari merupakan tanda yang memberitahu adanya sholat, sedangkan ‘illat adalah perkara yang karenanya terwujud hukum. Jadi, ‘illat adalah sebab pensyariatan hukum, bukan sebab adanya hukum, sehingga ‘illat termasuk dalil hukum. Contohnya: Firman Allah Ta’ala (QS. Al-Jumu’ah: 9)
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) šÏŠqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqtƒ ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) ̍ø.ÏŒ «!$# (#râsŒur yìøt7ø9$# 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ  
Artinya: “ Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.
Melalaikan sholat, menjadi sebab disyari’atkannya suatu hukum yaitu haramnya berjual beli ketika adzan jum’at. Dengan demikian disebut ‘illat bukan sebab. Berbeda dengan tergelincirnya matahari, bukan merupakan ‘illat karena sholat Dzuhur tidak disyari’atkan karenanya. Itu hanya merupakan tanda bahwa sholat dzuhur telah tiba.[6][6]
C.    Rincian dan Macam-Macam ‘Illat
‘Illat adalah sesuatu yang mendorong disyariatkannya hukum. Oleh karena itu, ‘illat harus terdapat di dalam dalil baik secara jelas (sharih), menunjukkan (dilalah), penggalian (istinbath), atau secara qiyas. Itulah macam-macam ‘illat yang akan dituturkan dibawah ini yaitu sebagai berikut:
Pertama, ‘Illat yang terdapat secara jelas (Shurahatan), contonya:
ان كنتم ثلاثة فلا يتنا ج اثنان دون الثالث من اجل ان ذلك يحزنه
Artinya: “ Apabila tiga orang diantara kalian sedang berkumpul maka tidak boleh dua orang di antara kalian saling berbisik tanpa melibatkan orang yang ketiga karena hal itu akan membuatnya sedih.”( HR. Ahmad).
‘Illat pada hadits ini adalah karena perkara itu akan membuatnya sedih. Termasuk ‘illat karena menggunakan lafazh yang sharih, yaitu lafazh min ajli.
Kedua, Illat yang terdapat pada nash secara dilalah (penunjukan), contohnya dalam firman Allah SWT: (QS.Al-Anfal:60).
(#rÏãr&ur Nßgs9 $¨B OçF÷èsÜtGó$# `ÏiB ;o§qè% ÆÏBur ÅÞ$tÍh È@øyÜø9$# šcqç7Ïdöè? ¾ÏmÎ ¨rßtã «!$# öNà2¨rßtãur tûï̍yz#uäur `ÏB óOÎgÏRrߊ Ÿw ãNßgtRqßJn=÷ès? ª!$# öNßgßJn=÷ètƒ 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« Îû È@Î6y «!$# ¤$uqムöNä3ös9Î) óOçFRr&ur Ÿw šcqßJn=ôàè? ÇÏÉÈ  
Artinya: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).
Kata menggentarkan musuh adalah sifat yang sesuai dengan mafhum bagi keharusan untuk mengadakan persiapan menghadapi musuh, lafazh tersebut merupakan ‘illat dilalah.
Ketiga, ‘illat yang terdapat dalam nash dengan jalan istinbath (mustanbath), contohnya dalam sabda Rasulullah SAW:
ارايت لو تمضمضت هل يفسد صومك ؟ قال : لا . قال: فكذلك القبلة
Artinya: “Apa pendapatmu andaikata engkau berkumur-kumur (pada saat berpuasa) apakah akan rusak berpuasamu?” Umar menjawab” Tidak”. Beliau bersabda begitu juga mencium.” (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah)
Dari nash ini digali bahwa ‘illat batalnya puasa karena mencium adalah keluarnya sperma. Apabila seseorang mencium istrinya tidak keluar sperma maka tidak membatalkan puasa. Jadi Al-Inzal adalah ‘illat istinbatiyyah karena sama seperti berkumur-kumur.
Keempat, ‘Illat melalui qiyas, contohnya:
نهى رسول الله ص م ان يبيع حا ضر لباد
Artinya: “ Rasulullah SAW melarang orang kota (menyongsong guna membeli barang) kepada orang yang datang dari pelosok (pedesaan)”. (HR. Bukhari Muslim).
Dari segi syar’i telah menganggap sifat itu sesuai atau tidak, maka Ulama Ushul telah membagi sifat yang sesuai itu menjadi empat macam:
1)      Sesuai dan berpengaruh ( Al-Munasib Al-Mu’tsir), yaitu sifat yang sesuai yang oleh syar’I telah disusun hukum yang sesuai dengan sifat itu, baik dalam nash maupun ijma’. Sifat tesebut telah ditetapkan sebagai ‘illat hukum. Seperti firman Allah: (QS. Al-Baqarah: 222).
štRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙŠÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]Œr& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙŠÅsyJø9$# ( Ÿwur £`èdqçtø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜtƒ ( #sŒÎ*sù tbö£gsÜs?  Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüκ§q­G9$# =Ïtäur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ  

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Hukum pasti dalam nash ini adalah keharusan menghindari wanita di waktu haidh dan telah tersusun sebagi dasar, bahwa ia adalah kotoran (adza). Sedangkan sighat nash telah jelas bahwa ‘illat hukum ini adalah kotoran. Maka oleh karena itu kotoran yang menjadi sebab keharusn menghindari wanita di waktu haidh adalah sifat yang sesuai dan mempengaruhi (munasib dan mu’tsir).
2)      Sesuai dan sepadan ( Al-Munasib Al-Mula’im), yaitu sifat yang sesuai yang oleh syar’I telah disusun hukum yang sesuai dengan hukum itu. Dan nash atau ijma’ belum menetapkannya sebagai ‘illat hukum yang telah disusun atas dasar sesuai dengannya. Contoh sifat yang sesuai yaitu keadaan seorang perempuan yang masih kecil sebagai ketetapan kewalian ayah dalam mengawinkan perempuan yang masih kecil hal ini telah terdapat ketetapan nash bahwa kewalian ayah adalah mengawinkan anak perempuan yang masih kecil dan perawan itu. Jadi hukumnya ialah ketetapan kekuasaan yang disusun atas dasar menyesuaikan sifat perawan dan kecil.
3)      Sesuai dan dibiarkan (Al-Munasib Al-Mursal), yaitu sifat yang oleh syar’I tidak disusun hukum yang sesuai dengannya. Tidak pula terdapat dalil syara’ yang menunjukkan pengakuannya atau menyia-nyiakan pengakuannya bahawa sifat itu munasib, artinya dapat menunjukkan maslahah, namun ia mursal, artinya terlepas dari dalil pengakuan dan dalil pembatalan (ilgha’) yang disebut dengan al-Maslahatul Mursalah. Contohnya, kemslahatan-kemaslahatan yang oleh sahabat dijadikan dasar pensyariatan keharusan pajak bagi tanah pertanian, mencetak uang, pembukuan Al-Qur’an dan prenyebarannya.
4)      Sesuai dan disia-siakan (Al-Munasib Al Mulgha’), yaitu sifat yang nyata bahwa pendasaran hukum adalah mewujudkan kemaslahatan hukum. Contohnya, menetapkan seseorang yang berbuka pada bulan Ramadhan secara sengaja dengan hukuman secara khusus adalah pengajaran baginya.[7][7]
D.    Status, Kedudukan dan Fungsi ‘Illat
Status dan kedudukan ‘Illat adalah latar belakang penetapan hukum, yang kedudukannya terletak sebelum hukum disyariatkan. Jadi kedudukan illat sebenarnya sederajat dengan dalil suatu hukum syara’, yaitu illat itu ada sebelum atau bersamaan dengan hukum. Kedudukan illat adalah seperti halnya nash yang mendasari suatu hukum.[8][8]
Sedangkan fungsi ‘illat adalah sebagai berikut:
1. Penyebab atau penetap adanya hukum.
2. Penolak ( dafi’ah ) keberadaan hukum akan terjadi, tetapi tidak mencabut hukum itu seandainya `illat tersebut terdapat pada saat hukum tengah berlaku.
3. Pencabut ( rafi’at ) kelangsungan suatu hukum, bila `illat terjadi pada masa tersebut, tetapi `illat ini tidak menolak terjadinya suatu hukum.
4. Penolak dan pencegah suatu hukum. Mencegah terjadinya suatu hukum dan sekaligus dapat mencabut bila hukum itu telah berlangsung.[9][9]
E.     Masalikul ‘Illat (Cara Mencari ‘Illat)
Masalikul ‘illat adalah cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau ‘illat dari suatu peristiwa atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum. Diantara cara tersebut, ialah:
1.      Nash yang menunjukkannya
Dalam hal ini nash sendirilah yang menerangkan bahwa suatu sifat merupakan ‘illat hukum dari suatu peristiwa atau kejadian. ‘Illat yang demikian disebut ‘illat manshus alaih. Lakukan qiyas berdasarkan ‘illat yang disebutkan oleh nash pada hakikatnya adalah menetapkan hukum sesuatu berdasarkan nash. Petunjuk nash tentang sifat sesuatu kejadian atau peristiwa yang merupakan ‘illat itu ada dua macam yaitu :
a.       Dalalah Sharahah, ialah penunjukan lafazh yang terdapat dalam nash kepada ‘illat hukum jelas sekali.Atau dengan kata lain bahwa lafazh nash itu sendiri yang menunjukan ‘illat hukum dengan jelas, seperti ungkapan yang terdapat dalam nash: supaya demikian atau sebab demikian dan sebagainya.Dalalah sharahah ada dua macam, yang pertama dalalah sharahah yang qath’I ( apabila penunjukan kepada ‘illat hukum itu pasti dan yakin, tidak mungkin dialihkan kepada hukum yang lain). Dan yang kedua ialah dalalah sharahah yang dzanni ( apabila penunjukan nash kepada ‘illat hukum itu adlah berdasarkan dugaan keras).
b.      Dalalah ima’ ( isharah ), ialah petunjuk yang dipahami dari sifat yang menyertainya, atau dengan perkataan lain dan sifat itu merupakan ‘illat ditetapkannya suatu hukum. Jika penyertaan sifat itui tidak dapat dipahamkan demikian, maka tidak ada gunanya menyertakan sifat itu
Ada beberapa macam dalalah ima’, diantaranya ialah:
·         Mengerjakan suatu pekerjaan karena ada terjadi sesuatu peristiwa sebelumnya. Contohnya seperti Nabi Muhammad SAW mengerjakan sujud sahwi, karena beliau lupa mengerjakan salah satu dari rukun shalat.
·         Menyebutkan suatu sifat bersamaan ( sebelum atau sesudah ) dengan hukum. Seandainya sifat itu dipandang bukan sebagai ‘illat tentulah tidak perlu disebutkan.Contohnya, adalah Nabi SAW bersabda:
لا يحكم احدكم بين اثنين وهو غضبان
Artinya : “Seseorang tidak boleh memberi keputusan antara dua orang ( yang berpekara ) dalam keadaan ia sedang marah( HR. Bukhori Muslim ).
·         Membedakan dua buah hukum dengan menyebutkan dua sifat yang berbeda pula, seperti sabda Rasulullah SAW :
للراجل سهم وللفارس سهم
Artinya : “ Barisan berjalan kaki mendapat satu bagian, sedangkan barisan berkuda mendapat dua bagian. ( HR. Bukhari Muslim ).
Barisan berjalan kaki dan barisan berkuda menjadi ‘illat perbedaan pembagian harta rampasan perang.
·         Membedakan dua hukum dengan syarat, seperti firman Allah SWT: ( QS.At-Thalaq : 6 )
Pada ayat ini diterangkan bahwa hamil menjadi syarat wajibnya pemberian nafkah kepada istri yang ditalaq ba’in dan menyusukan anak menjadi syarat pemberian upah menyusukan anak.
·         Membedakan antara dua hukum dengan pengecualian ( istimewa ) dan pengecualian (Istidrak).
2.      Ijma yang menunjukan
Maksudnya, ialah ‘illat itu ditetapkan dengan ijma. Seperti belum baligh ( masih kecil ) menjadi ‘illat dikuasai oleh wali harta anak yatim yang belum baligh. Hal ini disepakati oleh para ulama.
3.      Dengan Penelitian
Ada beberapa cara penelitian itu dilakukan :
a)      Munasabah, ialah persesuaian antara sesuatu hal, keadaan atau sifat dengan perintah atau larangan. Persesuaian tersebut itu ialah persesuaian yang dapat diterima oleh akal,karena persesuaian itu ada hubungannya, dengan mengambil manfaat dan menolak kerusakan atau kemadoratan bagi manusia
b)      Assabru wa taqsim. Assabru berarti meneliti kemungkinan-kemungkinan dan taqsim berarti menyeleksi atau memisah-misahkan.Assabru wa taqsim maksudnya ialah meneliti kemungkinan-kemungkinan sifat-sifat pada suatu peristiwa atu kejadian. Tetapi tidak ada nash atau ijma yang menerangkan ‘illatnya.Contohnya : Para ulama sepakat bahwa wali mujbir boleh menikahkan anak kecil wanita tanpa persetujuan anak itu, tetapi tidak ada nash yang menerangkan ‘illatnya. Karena itu para mujtahid meneliti sifat-sifat yang mungkin yang dijadikan ‘illatnya. Diantara sifat yang mungkin dijadikan ‘illat, ialah belum baligh, gadis dan belum dewasa. Pada ayat 6 surat An-Nisa tidak dewasa dapat dijadikan ‘illat seorang wali mengusai harta seorang anak yatim yang belum dewasa.Karena itulah ditetapkan belum dewasa sebagai ‘illat kebolehan wali mujbir menikahkan anak perempuan yang berada dibawah perwaliannya.
c)      Tanqihul manath, ialah mengumpulkan sifat-sifat yang ada pada fara’ dan sifat-sifat yang ada pada ashal, kemudian dicari yang sama sifatnya. Sifat-sifat yang sama dijadikan sebagai ‘illat.Sedang sifat yang tidak sama ditinggalakan.Contohnya pada ayat 25 surat An-Nisa diterangkan bahwa hukuman pada budak perempuan adalah separoh hukuman orang merdeka, sedang tidak ada nash yang menerangkan hukuman bagi budak laki-laki. Setelah dikumpulkan sifat-sifat yang ada pada keduanya, maka yang sama ialah sifat kebudakan.Karena itu ditetapkanlah bahwa sifat kebudakan itu sebagai ‘illat untuk menetapkan hukum bahwa hukuman bagi budak laki-laki sama dengan yang diberikan kepada budak perempuan, yaitu separoh dari hukuman yang diberikan kepada orang yang merdeka.
d)     Tahqiqul Manath,ialah menetapkan ‘illat pada ashal , baik berdasarkan nash atau tidak. Kemudian ‘illat tersebut disesuaikan dengan ‘illat pada fara’. Dalam hal ini mungkin ada yang berpendapat bahwa ‘illat itu dapat ditetepkan pada fara’ dan mungkin pula ada yang tidak berpendapat demikian.Contohnya, ialah ‘illat potong tangan bagi pencuri, yaitu karena ia mengambil harta secara sembunyi pada tempat penyimpanannya, hal ini disepakati para ulama. Berbeda pendapat ulama jika ‘illat itu diterapkan pada hukuman bagi pencuri kain kafan dalam kubur. Menurut Syafi’iyyah dan Malikiyyah pencuri itu dihukum potong tangan, karena mengambil harta dari tempat penyimpanannya ( kubur ). Sedangkan Hanafiyyah tidak menjadikan sebagai ‘illat, karena itu pencuri kafan tidak potong tangannya.[10][10]
F.     Qawadih ‘Illat
Qawadih secara bahasa adalah yaitu sesuatu yang mencacatkan atau melukai. Sedangkan secara istilah Qawadih adalah sesuatu yang mempengaruhi atau mencacatkan pada dalil dari segi ‘illat atau y ang lainnya.
Adapun macam-macamnya adalah:
a. تخلق الحكم عن الوصف ( Perbedaan hukum menurut sifat )
Dinamakan oleh Imam Syafi’I dengan: نقض العلة فهو قادح في العلة
Contoh: لا يزوج البكر الصغيرة الا وليها
Artinya: “Gadis kecil tidak boleh kawin, melainkan dikawinkan oleh walinya.” (H.R Muslim. Abu Daud, dan Nasa’i)
Hadits di atas menunjukkan bahwa seorang wali mujbir memiliki hak untuk memaksa anak gadisnya menikah. Sebagian ulama berpendapat bahwa ‘Illat bagi perwalian tersebut adalah karena masih kecil. Akan tetapi meskipun masih kecil kalau ia telah janda tidak bisa dipaksa oleh walinya untuk menikah. Sabda Rasulullah SAW:
الايم احق بنفسها من وليها
Artinya: “Janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya” (H.R Muslim).
b. قادح في العلة مبطل لها Apabila ‘illat batal, maka batal pula hukum di atasnya.
Contohnya, ‘illat dari hilangnya melaksanakan kewajiban bagi orang gila adalah karena akalnya tidak berfungsi. Akan tetapi, jika ‘illat tersebut telah hilang (akalnya telah dapat berfungsi kembali dengan baik), maka hokum yang semula (hilangnya melaksanakan kewajiban) menjadi batal (hilang) pula. Dan orang tersebut harus melaksanakan kewajiban-kewajiban, karma ‘illatnya telah hilang (batal).
c. عدم التفسير Tak ada pengaruh. Maksudnya, apabila sifat itu tak berpengaruh, maka batal lahsifat itu pada hukum
Misalnya, kebolehan bagi laki-laki maupun perempuan untuk mengqashar shalat jika sedang dalam perjalanan berdasarkan Q.S An-Nisa : 101. antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan sifat, yaitu perbedaan kelamin. Akan tetapi meskipun antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan sifat, namun perbedaan sifat itu tak berpengaruh pada hokum, yaitu kebolehan mengqashar shalat bagi siapa saja yang sedang dalam perjalanan, baik laki-laki maupun perempuan.
G.    Cara Penggunaanya
a.       Penggunaan ‘illat ‘adami untuk hukum tsubuti
Penggunaan ‘illat adami dalam hukum tsubuti adalah guru yang boleh memukul muridnya karena ketidakpatuhannya. Sebagian ulama (diantaranya al-Razi) membolehkan karena pada dasarnya ‘illat ‘adami dapat dipahami dalam bentuk tsubuti, sedangkan al-Amidi menolak penggunaan ‘illat ‘adami untuk hukum tsubuti.
b.      Penggunaan ‘illat Qashiroh
Sebagian ulama menolak penggunaan ‘illat Qashiroh secara mutlak, karena tidak memenuhi syarat yang ditentukan. Ulama Hanafiah menolak ‘illat Qashiroh yang tidak ditetapkan berdasarkan Nash atau Ijma’. Ibnu Subki membolehkan ‘illat Qashiroh untuk menetapkan suatu hukum meskipun tidak dapat digunakkan untuk qiyas.
c.       Penggunaan dua ‘illat untuk satu hukum
Jumhur Ulama membolehkan penggunaan dua ‘illat untuk satu hukum secara mutlak karena ‘illat Syar’iyyah adalah alamat atau tanda bagi adanya hukum. Oleh karena itu, tidak ada halangan bagi beberapa alamat atau tanda untuk memberi petunjuk kepada sesuatu hukum tertentu. Jumhur beranggapan bahwa contoh hal itu dalam pelaksanaannya secara praktis seperti: bersentuhan, memegang kemaluan, dan buang air menjadi ‘illat batalnya wudhu.
d.      Penggunaan satu ‘illat untuk dua hukum, baik hukumnya hukum tsubuti, seperti pencurian menjadi ‘illat berlaku hukum potong tangan, dan hukuman ganti rugi, maupun bila hukumnya dalam bentuk naïf, seperti ‘illat Haid bagi sebab tidak sahnya puasa dan tidak sahnya sholat.[11][11]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan yang sudah dijabarkan, dapat diambil kesimpulan bahwa Illat adalah sesuatu yang memberikan batasan terhadap hukum, sehingga disebut juga tanda yang dijadikan dasar hukum, jadi hukum itu disyariatkan karena adanya ‘illat.
Sedangkan masalikul ‘illat yaitu cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau ‘illat dari suatu peristiwa atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum.
Dan yang terakhir yaitu Qawadih ‘Illat adalah sesuatu yang mempengaruhi atau mencacatkan pada dalil dari segi ‘illat atau yang lainnya.



DAFTAR PUSTAKA

Khalil, ‘Atha.2008.Ushul Fiqh.Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
Khallaf, Abdul Wahhab.1996.Kaidah-Kaidah Hukum Islam.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.
Umar, Muin Dkk.1985.Ushul Fiqh 1.Jakarta:Departemen Agama RI.
Yunus, Mahmud.1975. Kamus Arab-Indonesia.Jakarta: PT Mahmud Yunus Wadzurriyyah.
Zahrah, Muhammad Abu.2008.Ushul Fiqh.Jakarta: Pustaka Firdaus


PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Untuk memahami makna dan hakekat hukum atau aturan-aturan yang telah disyariatkan Allah SWT. Yang berfungsi sebagai alat untuk mengatur hidup dan kehidupan umat manusia bukanlah persoalan yang mudah. Hal ini dapat dipahami bahwa semua aturan yang telah ditetapakn Allah tersebut, pada akhirnya Dia sendiri yang mengetahui hakikatnya.
Secara lebih tegas dapat dinyatakan bahwa segala ketentuan hukum yang telah diterapkan oleh Allah baik perintah maupun larangan, dengan tujuan untuk menciptakan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Selain itu dijadikan sebagai landasan pemikiran untuk melihat dan menentukan kira-kira apa yang menjadi pendorong atau yang melatarbelakangi suatu ketentuan hukum syara’ tersebut.
Untuk memahami dan mengetahui apa yang menjadi pendorong atau alasan-alasan logis dari semua ketentuan hukum yang telah ditetapkan itu, maka para ulama Ushul Fiqh berupaya meneliti nash Al-Qur’an dan Sunnah dengan melihat hubungan antara suatu ketentuan hukum dengan alasan yang mendasar. Upaya ini, pada akhirnya melahirkan suatu teori yang kemudian dalam Ilmu Ushul Fiqh disebut dengan ‘Illat. Di dalam makalah ini akan dijelaskan tentang ‘Illat, Masalik ‘Illat dan Qawadihnya pada halaman selanjutnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian dari ‘Illat?
2.      Apakah Syarat-Syarat ‘Illat?
3.      Apa Saja Rincian dan Macam-Macam Illat?
4.      Apa Saja Status, Kedudukan dan Fungsi ‘Illat?
5.      Bagaimana cara mencari sebuah illat (Masalikul ‘Illat)
6.      Apa yang disebut dengan Qawadih ‘Illat?
7.      Bagaimana Cara Penggunaan Sebuah Illat?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa itu ‘Illat dan syarat-syaratnya.
2.      Mengetahui status, Kedudukan dan fungsi debuah ‘illat serta cara mencari sebuah Illat.
3.      mngetahui apa itu Qawadih ‘Illat dan cara penggunaan sebuah illat.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian ‘Illat
Secara etimologi ‘illat berasal dari kata علة-عل yang berarti sakit, yang menyusahkan, sebab, udzur.[1][1]
Secara terminologi menurut Atho bin Khalil ‘illat adalah sesuatu yang keberadaanya maka hukum menjadi ada. Atau perkara yang memunculkan hukum berupa pensyariatan suatu hukum. Illat adalah dalil, tanda, dan yang memberi tahu adanya hukum.
Menurut Abdul Wahhab Khallaf ‘illat adalah sifat dalam hukum ashal yang dijadikan dasar hukum.
Menurut Muhammad Abu Zahrah, ‘illat adalah sebagai suatu sifat lahir yang menetapkan dan sesuai dengan hukum.
Menurut Mu’in Umar, ‘illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapakan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara’ yang belum ditetapkan hukumnya.
Maka dapat disimpulkan ‘illat ialah sesuatu yang memberikan batasan terhadap hukum, sehingga disebut juga tanda yang dijadikan dasar hukum, jadi hukum itu disyariatkan karena adanya ‘illat.
Contoh Illat adalah sebagai berikut:
·         Seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan harapannya hukum menjual harta anak yatim.[2][2]
·         Sifat memabukkan pada khamr, sehingga semua yang memabukkan dihukumi sebagai khamr.[3][3]
·         Atau pembunuhan sengaja dengan pedang sebagai ‘illat qishas, sebab tindak pidana yang diancam dengan hukuman qishas ialah segala bentuk penganiayaan dengan alat atau senjata yang mematikan.[4][4]

B.     Syarat-Syarat ‘Illat
Ada empat macam syarat-syarat ‘illat yang disepakati para ulama yaitu:
1.      Sifat ‘illat itu hendaknya nyata masih terjangkau oleh akal dan panca indera. Hal ini diperlukan karena ‘illat itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada fara’.
2.      Sifat ‘illat itu harus pasti, tertentu, terbatas, dan dapat dibuktikan bahwa ‘illat itu ada pada fara’.
3.      ‘Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti bahwa keras dugaan ‘illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya.
4.      ‘Illat itu tidak hanya terdapat pada ashal saja tetapai harus berupa sifat yang dapat pula diterapkan pada masalah-masalah lain selain dari ashal itu.[5][5]
Perbedaan antara ‘illat dengan hikmah adalah, bahwa ‘illat merupakan pendorong atau pemicu disyariatkannya suatu hukum dengan kata lain, sesuatu penyebab disyariatkannya hukum. Sedangkan hikmah adalah perkara yang menjelaskan hasil dan tujuan hukum. Berdasarkan hal itu, ‘illat ada sebelum adanya hukum dan bukan merupakan hasil dari pelaksanaan hukum. Sedangkan hikmah adlah hasil yang mungkin diperoleh dari pelaksanaan hukum. Hikmah dengan makna seperti ini kadangkala terpisah dari hukum pada kondisi tertentu.
Perbedaan ‘illat dengan sebab yaitu sebab merupakan tanda yang memberitahu adanya suatu hukum seperti tergelincirnya matahari merupakan tanda yang memberitahu adanya sholat, sedangkan ‘illat adalah perkara yang karenanya terwujud hukum. Jadi, ‘illat adalah sebab pensyariatan hukum, bukan sebab adanya hukum, sehingga ‘illat termasuk dalil hukum. Contohnya: Firman Allah Ta’ala (QS. Al-Jumu’ah: 9)
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) šÏŠqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqtƒ ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) ̍ø.ÏŒ «!$# (#râsŒur yìøt7ø9$# 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ  
Artinya: “ Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.
Melalaikan sholat, menjadi sebab disyari’atkannya suatu hukum yaitu haramnya berjual beli ketika adzan jum’at. Dengan demikian disebut ‘illat bukan sebab. Berbeda dengan tergelincirnya matahari, bukan merupakan ‘illat karena sholat Dzuhur tidak disyari’atkan karenanya. Itu hanya merupakan tanda bahwa sholat dzuhur telah tiba.[6][6]
C.    Rincian dan Macam-Macam ‘Illat
‘Illat adalah sesuatu yang mendorong disyariatkannya hukum. Oleh karena itu, ‘illat harus terdapat di dalam dalil baik secara jelas (sharih), menunjukkan (dilalah), penggalian (istinbath), atau secara qiyas. Itulah macam-macam ‘illat yang akan dituturkan dibawah ini yaitu sebagai berikut:
Pertama, ‘Illat yang terdapat secara jelas (Shurahatan), contonya:
ان كنتم ثلاثة فلا يتنا ج اثنان دون الثالث من اجل ان ذلك يحزنه
Artinya: “ Apabila tiga orang diantara kalian sedang berkumpul maka tidak boleh dua orang di antara kalian saling berbisik tanpa melibatkan orang yang ketiga karena hal itu akan membuatnya sedih.”( HR. Ahmad).
‘Illat pada hadits ini adalah karena perkara itu akan membuatnya sedih. Termasuk ‘illat karena menggunakan lafazh yang sharih, yaitu lafazh min ajli.
Kedua, Illat yang terdapat pada nash secara dilalah (penunjukan), contohnya dalam firman Allah SWT: (QS.Al-Anfal:60).
(#rÏãr&ur Nßgs9 $¨B OçF÷èsÜtGó$# `ÏiB ;o§qè% ÆÏBur ÅÞ$tÍh È@øyÜø9$# šcqç7Ïdöè? ¾ÏmÎ ¨rßtã «!$# öNà2¨rßtãur tûï̍yz#uäur `ÏB óOÎgÏRrߊ Ÿw ãNßgtRqßJn=÷ès? ª!$# öNßgßJn=÷ètƒ 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« Îû È@Î6y «!$# ¤$uqムöNä3ös9Î) óOçFRr&ur Ÿw šcqßJn=ôàè? ÇÏÉÈ  
Artinya: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).
Kata menggentarkan musuh adalah sifat yang sesuai dengan mafhum bagi keharusan untuk mengadakan persiapan menghadapi musuh, lafazh tersebut merupakan ‘illat dilalah.
Ketiga, ‘illat yang terdapat dalam nash dengan jalan istinbath (mustanbath), contohnya dalam sabda Rasulullah SAW:
ارايت لو تمضمضت هل يفسد صومك ؟ قال : لا . قال: فكذلك القبلة
Artinya: “Apa pendapatmu andaikata engkau berkumur-kumur (pada saat berpuasa) apakah akan rusak berpuasamu?” Umar menjawab” Tidak”. Beliau bersabda begitu juga mencium.” (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah)
Dari nash ini digali bahwa ‘illat batalnya puasa karena mencium adalah keluarnya sperma. Apabila seseorang mencium istrinya tidak keluar sperma maka tidak membatalkan puasa. Jadi Al-Inzal adalah ‘illat istinbatiyyah karena sama seperti berkumur-kumur.
Keempat, ‘Illat melalui qiyas, contohnya:
نهى رسول الله ص م ان يبيع حا ضر لباد
Artinya: “ Rasulullah SAW melarang orang kota (menyongsong guna membeli barang) kepada orang yang datang dari pelosok (pedesaan)”. (HR. Bukhari Muslim).
Dari segi syar’i telah menganggap sifat itu sesuai atau tidak, maka Ulama Ushul telah membagi sifat yang sesuai itu menjadi empat macam:
1)      Sesuai dan berpengaruh ( Al-Munasib Al-Mu’tsir), yaitu sifat yang sesuai yang oleh syar’I telah disusun hukum yang sesuai dengan sifat itu, baik dalam nash maupun ijma’. Sifat tesebut telah ditetapkan sebagai ‘illat hukum. Seperti firman Allah: (QS. Al-Baqarah: 222).
štRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙŠÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]Œr& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙŠÅsyJø9$# ( Ÿwur £`èdqçtø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜtƒ ( #sŒÎ*sù tbö£gsÜs?  Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüκ§q­G9$# =Ïtäur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ  

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Hukum pasti dalam nash ini adalah keharusan menghindari wanita di waktu haidh dan telah tersusun sebagi dasar, bahwa ia adalah kotoran (adza). Sedangkan sighat nash telah jelas bahwa ‘illat hukum ini adalah kotoran. Maka oleh karena itu kotoran yang menjadi sebab keharusn menghindari wanita di waktu haidh adalah sifat yang sesuai dan mempengaruhi (munasib dan mu’tsir).
2)      Sesuai dan sepadan ( Al-Munasib Al-Mula’im), yaitu sifat yang sesuai yang oleh syar’I telah disusun hukum yang sesuai dengan hukum itu. Dan nash atau ijma’ belum menetapkannya sebagai ‘illat hukum yang telah disusun atas dasar sesuai dengannya. Contoh sifat yang sesuai yaitu keadaan seorang perempuan yang masih kecil sebagai ketetapan kewalian ayah dalam mengawinkan perempuan yang masih kecil hal ini telah terdapat ketetapan nash bahwa kewalian ayah adalah mengawinkan anak perempuan yang masih kecil dan perawan itu. Jadi hukumnya ialah ketetapan kekuasaan yang disusun atas dasar menyesuaikan sifat perawan dan kecil.
3)      Sesuai dan dibiarkan (Al-Munasib Al-Mursal), yaitu sifat yang oleh syar’I tidak disusun hukum yang sesuai dengannya. Tidak pula terdapat dalil syara’ yang menunjukkan pengakuannya atau menyia-nyiakan pengakuannya bahawa sifat itu munasib, artinya dapat menunjukkan maslahah, namun ia mursal, artinya terlepas dari dalil pengakuan dan dalil pembatalan (ilgha’) yang disebut dengan al-Maslahatul Mursalah. Contohnya, kemslahatan-kemaslahatan yang oleh sahabat dijadikan dasar pensyariatan keharusan pajak bagi tanah pertanian, mencetak uang, pembukuan Al-Qur’an dan prenyebarannya.
4)      Sesuai dan disia-siakan (Al-Munasib Al Mulgha’), yaitu sifat yang nyata bahwa pendasaran hukum adalah mewujudkan kemaslahatan hukum. Contohnya, menetapkan seseorang yang berbuka pada bulan Ramadhan secara sengaja dengan hukuman secara khusus adalah pengajaran baginya.[7][7]
D.    Status, Kedudukan dan Fungsi ‘Illat
Status dan kedudukan ‘Illat adalah latar belakang penetapan hukum, yang kedudukannya terletak sebelum hukum disyariatkan. Jadi kedudukan illat sebenarnya sederajat dengan dalil suatu hukum syara’, yaitu illat itu ada sebelum atau bersamaan dengan hukum. Kedudukan illat adalah seperti halnya nash yang mendasari suatu hukum.[8][8]
Sedangkan fungsi ‘illat adalah sebagai berikut:
1. Penyebab atau penetap adanya hukum.
2. Penolak ( dafi’ah ) keberadaan hukum akan terjadi, tetapi tidak mencabut hukum itu seandainya `illat tersebut terdapat pada saat hukum tengah berlaku.
3. Pencabut ( rafi’at ) kelangsungan suatu hukum, bila `illat terjadi pada masa tersebut, tetapi `illat ini tidak menolak terjadinya suatu hukum.
4. Penolak dan pencegah suatu hukum. Mencegah terjadinya suatu hukum dan sekaligus dapat mencabut bila hukum itu telah berlangsung.[9][9]
E.     Masalikul ‘Illat (Cara Mencari ‘Illat)
Masalikul ‘illat adalah cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau ‘illat dari suatu peristiwa atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum. Diantara cara tersebut, ialah:
1.      Nash yang menunjukkannya
Dalam hal ini nash sendirilah yang menerangkan bahwa suatu sifat merupakan ‘illat hukum dari suatu peristiwa atau kejadian. ‘Illat yang demikian disebut ‘illat manshus alaih. Lakukan qiyas berdasarkan ‘illat yang disebutkan oleh nash pada hakikatnya adalah menetapkan hukum sesuatu berdasarkan nash. Petunjuk nash tentang sifat sesuatu kejadian atau peristiwa yang merupakan ‘illat itu ada dua macam yaitu :
a.       Dalalah Sharahah, ialah penunjukan lafazh yang terdapat dalam nash kepada ‘illat hukum jelas sekali.Atau dengan kata lain bahwa lafazh nash itu sendiri yang menunjukan ‘illat hukum dengan jelas, seperti ungkapan yang terdapat dalam nash: supaya demikian atau sebab demikian dan sebagainya.Dalalah sharahah ada dua macam, yang pertama dalalah sharahah yang qath’I ( apabila penunjukan kepada ‘illat hukum itu pasti dan yakin, tidak mungkin dialihkan kepada hukum yang lain). Dan yang kedua ialah dalalah sharahah yang dzanni ( apabila penunjukan nash kepada ‘illat hukum itu adlah berdasarkan dugaan keras).
b.      Dalalah ima’ ( isharah ), ialah petunjuk yang dipahami dari sifat yang menyertainya, atau dengan perkataan lain dan sifat itu merupakan ‘illat ditetapkannya suatu hukum. Jika penyertaan sifat itui tidak dapat dipahamkan demikian, maka tidak ada gunanya menyertakan sifat itu
Ada beberapa macam dalalah ima’, diantaranya ialah:
·         Mengerjakan suatu pekerjaan karena ada terjadi sesuatu peristiwa sebelumnya. Contohnya seperti Nabi Muhammad SAW mengerjakan sujud sahwi, karena beliau lupa mengerjakan salah satu dari rukun shalat.
·         Menyebutkan suatu sifat bersamaan ( sebelum atau sesudah ) dengan hukum. Seandainya sifat itu dipandang bukan sebagai ‘illat tentulah tidak perlu disebutkan.Contohnya, adalah Nabi SAW bersabda:
لا يحكم احدكم بين اثنين وهو غضبان
Artinya : “Seseorang tidak boleh memberi keputusan antara dua orang ( yang berpekara ) dalam keadaan ia sedang marah( HR. Bukhori Muslim ).
·         Membedakan dua buah hukum dengan menyebutkan dua sifat yang berbeda pula, seperti sabda Rasulullah SAW :
للراجل سهم وللفارس سهم
Artinya : “ Barisan berjalan kaki mendapat satu bagian, sedangkan barisan berkuda mendapat dua bagian. ( HR. Bukhari Muslim ).
Barisan berjalan kaki dan barisan berkuda menjadi ‘illat perbedaan pembagian harta rampasan perang.
·         Membedakan dua hukum dengan syarat, seperti firman Allah SWT: ( QS.At-Thalaq : 6 )
Pada ayat ini diterangkan bahwa hamil menjadi syarat wajibnya pemberian nafkah kepada istri yang ditalaq ba’in dan menyusukan anak menjadi syarat pemberian upah menyusukan anak.
·         Membedakan antara dua hukum dengan pengecualian ( istimewa ) dan pengecualian (Istidrak).
2.      Ijma yang menunjukan
Maksudnya, ialah ‘illat itu ditetapkan dengan ijma. Seperti belum baligh ( masih kecil ) menjadi ‘illat dikuasai oleh wali harta anak yatim yang belum baligh. Hal ini disepakati oleh para ulama.
3.      Dengan Penelitian
Ada beberapa cara penelitian itu dilakukan :
a)      Munasabah, ialah persesuaian antara sesuatu hal, keadaan atau sifat dengan perintah atau larangan. Persesuaian tersebut itu ialah persesuaian yang dapat diterima oleh akal,karena persesuaian itu ada hubungannya, dengan mengambil manfaat dan menolak kerusakan atau kemadoratan bagi manusia
b)      Assabru wa taqsim. Assabru berarti meneliti kemungkinan-kemungkinan dan taqsim berarti menyeleksi atau memisah-misahkan.Assabru wa taqsim maksudnya ialah meneliti kemungkinan-kemungkinan sifat-sifat pada suatu peristiwa atu kejadian. Tetapi tidak ada nash atau ijma yang menerangkan ‘illatnya.Contohnya : Para ulama sepakat bahwa wali mujbir boleh menikahkan anak kecil wanita tanpa persetujuan anak itu, tetapi tidak ada nash yang menerangkan ‘illatnya. Karena itu para mujtahid meneliti sifat-sifat yang mungkin yang dijadikan ‘illatnya. Diantara sifat yang mungkin dijadikan ‘illat, ialah belum baligh, gadis dan belum dewasa. Pada ayat 6 surat An-Nisa tidak dewasa dapat dijadikan ‘illat seorang wali mengusai harta seorang anak yatim yang belum dewasa.Karena itulah ditetapkan belum dewasa sebagai ‘illat kebolehan wali mujbir menikahkan anak perempuan yang berada dibawah perwaliannya.
c)      Tanqihul manath, ialah mengumpulkan sifat-sifat yang ada pada fara’ dan sifat-sifat yang ada pada ashal, kemudian dicari yang sama sifatnya. Sifat-sifat yang sama dijadikan sebagai ‘illat.Sedang sifat yang tidak sama ditinggalakan.Contohnya pada ayat 25 surat An-Nisa diterangkan bahwa hukuman pada budak perempuan adalah separoh hukuman orang merdeka, sedang tidak ada nash yang menerangkan hukuman bagi budak laki-laki. Setelah dikumpulkan sifat-sifat yang ada pada keduanya, maka yang sama ialah sifat kebudakan.Karena itu ditetapkanlah bahwa sifat kebudakan itu sebagai ‘illat untuk menetapkan hukum bahwa hukuman bagi budak laki-laki sama dengan yang diberikan kepada budak perempuan, yaitu separoh dari hukuman yang diberikan kepada orang yang merdeka.
d)     Tahqiqul Manath,ialah menetapkan ‘illat pada ashal , baik berdasarkan nash atau tidak. Kemudian ‘illat tersebut disesuaikan dengan ‘illat pada fara’. Dalam hal ini mungkin ada yang berpendapat bahwa ‘illat itu dapat ditetepkan pada fara’ dan mungkin pula ada yang tidak berpendapat demikian.Contohnya, ialah ‘illat potong tangan bagi pencuri, yaitu karena ia mengambil harta secara sembunyi pada tempat penyimpanannya, hal ini disepakati para ulama. Berbeda pendapat ulama jika ‘illat itu diterapkan pada hukuman bagi pencuri kain kafan dalam kubur. Menurut Syafi’iyyah dan Malikiyyah pencuri itu dihukum potong tangan, karena mengambil harta dari tempat penyimpanannya ( kubur ). Sedangkan Hanafiyyah tidak menjadikan sebagai ‘illat, karena itu pencuri kafan tidak potong tangannya.[10][10]
F.     Qawadih ‘Illat
Qawadih secara bahasa adalah yaitu sesuatu yang mencacatkan atau melukai. Sedangkan secara istilah Qawadih adalah sesuatu yang mempengaruhi atau mencacatkan pada dalil dari segi ‘illat atau y ang lainnya.
Adapun macam-macamnya adalah:
a. تخلق الحكم عن الوصف ( Perbedaan hukum menurut sifat )
Dinamakan oleh Imam Syafi’I dengan: نقض العلة فهو قادح في العلة
Contoh: لا يزوج البكر الصغيرة الا وليها
Artinya: “Gadis kecil tidak boleh kawin, melainkan dikawinkan oleh walinya.” (H.R Muslim. Abu Daud, dan Nasa’i)
Hadits di atas menunjukkan bahwa seorang wali mujbir memiliki hak untuk memaksa anak gadisnya menikah. Sebagian ulama berpendapat bahwa ‘Illat bagi perwalian tersebut adalah karena masih kecil. Akan tetapi meskipun masih kecil kalau ia telah janda tidak bisa dipaksa oleh walinya untuk menikah. Sabda Rasulullah SAW:
الايم احق بنفسها من وليها
Artinya: “Janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya” (H.R Muslim).
b. قادح في العلة مبطل لها Apabila ‘illat batal, maka batal pula hukum di atasnya.
Contohnya, ‘illat dari hilangnya melaksanakan kewajiban bagi orang gila adalah karena akalnya tidak berfungsi. Akan tetapi, jika ‘illat tersebut telah hilang (akalnya telah dapat berfungsi kembali dengan baik), maka hokum yang semula (hilangnya melaksanakan kewajiban) menjadi batal (hilang) pula. Dan orang tersebut harus melaksanakan kewajiban-kewajiban, karma ‘illatnya telah hilang (batal).
c. عدم التفسير Tak ada pengaruh. Maksudnya, apabila sifat itu tak berpengaruh, maka batal lahsifat itu pada hukum
Misalnya, kebolehan bagi laki-laki maupun perempuan untuk mengqashar shalat jika sedang dalam perjalanan berdasarkan Q.S An-Nisa : 101. antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan sifat, yaitu perbedaan kelamin. Akan tetapi meskipun antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan sifat, namun perbedaan sifat itu tak berpengaruh pada hokum, yaitu kebolehan mengqashar shalat bagi siapa saja yang sedang dalam perjalanan, baik laki-laki maupun perempuan.
G.    Cara Penggunaanya
a.       Penggunaan ‘illat ‘adami untuk hukum tsubuti
Penggunaan ‘illat adami dalam hukum tsubuti adalah guru yang boleh memukul muridnya karena ketidakpatuhannya. Sebagian ulama (diantaranya al-Razi) membolehkan karena pada dasarnya ‘illat ‘adami dapat dipahami dalam bentuk tsubuti, sedangkan al-Amidi menolak penggunaan ‘illat ‘adami untuk hukum tsubuti.
b.      Penggunaan ‘illat Qashiroh
Sebagian ulama menolak penggunaan ‘illat Qashiroh secara mutlak, karena tidak memenuhi syarat yang ditentukan. Ulama Hanafiah menolak ‘illat Qashiroh yang tidak ditetapkan berdasarkan Nash atau Ijma’. Ibnu Subki membolehkan ‘illat Qashiroh untuk menetapkan suatu hukum meskipun tidak dapat digunakkan untuk qiyas.
c.       Penggunaan dua ‘illat untuk satu hukum
Jumhur Ulama membolehkan penggunaan dua ‘illat untuk satu hukum secara mutlak karena ‘illat Syar’iyyah adalah alamat atau tanda bagi adanya hukum. Oleh karena itu, tidak ada halangan bagi beberapa alamat atau tanda untuk memberi petunjuk kepada sesuatu hukum tertentu. Jumhur beranggapan bahwa contoh hal itu dalam pelaksanaannya secara praktis seperti: bersentuhan, memegang kemaluan, dan buang air menjadi ‘illat batalnya wudhu.
d.      Penggunaan satu ‘illat untuk dua hukum, baik hukumnya hukum tsubuti, seperti pencurian menjadi ‘illat berlaku hukum potong tangan, dan hukuman ganti rugi, maupun bila hukumnya dalam bentuk naïf, seperti ‘illat Haid bagi sebab tidak sahnya puasa dan tidak sahnya sholat.[11][11]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan yang sudah dijabarkan, dapat diambil kesimpulan bahwa Illat adalah sesuatu yang memberikan batasan terhadap hukum, sehingga disebut juga tanda yang dijadikan dasar hukum, jadi hukum itu disyariatkan karena adanya ‘illat.
Sedangkan masalikul ‘illat yaitu cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau ‘illat dari suatu peristiwa atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum.
Dan yang terakhir yaitu Qawadih ‘Illat adalah sesuatu yang mempengaruhi atau mencacatkan pada dalil dari segi ‘illat atau yang lainnya.


DAFTAR PUSTAKA

Khalil, ‘Atha.2008.Ushul Fiqh.Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
Khallaf, Abdul Wahhab.1996.Kaidah-Kaidah Hukum Islam.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.
Umar, Muin Dkk.1985.Ushul Fiqh 1.Jakarta:Departemen Agama RI.
Yunus, Mahmud.1975. Kamus Arab-Indonesia.Jakarta: PT Mahmud Yunus Wadzurriyyah.
Zahrah, Muhammad Abu.2008.Ushul Fiqh.Jakarta: Pustaka Firdaus























Translate

Jumlah Pembaca

Instagram @kamal_btr